BIJAK MENYIKAPI IJMA’ DAN IKHTILAF




            Setiap muslim yang mengaku sebagai penganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dituntut untuk bersikap proporsional sehubung dengan pendapat para ulama, baik saat mereka bersepakat maupun saat mereka berbeda pendapat. Setiap mereka bersepakat (baca:berijma’) setiap muslim wajib menerima dan menyelisihinya. Sedangkan saat mereka berbeda pendapat, setiap muslim boleh memilih salah satu dasar ilmu. Inilah kebijaksaan yang diajarkan oleh para salaf.

MENYIKAPI IJMA’(konsensus para ulama)
            Saifuddin al-Amidi asy-Syafi’i (551-631H) menjelaskan :
“Kebanyakan kaum muslimin telah sepakat bahwa ijma’ merupakan hujjah syar’i, wajib bagi setiap muslim beramal dengannya. Kesepakatan ini menyelisihi Syi’ah, Khawarij dan Nazham, salah seorang tokoh Mu’tazilah.” (Al-ihkam lil-Amidi, Saifuddin al-Amidi asy-Syafi’i, 1/257)
            Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi (251-313H), salah satu ulama madzhab Hanafi berkata :
“Para ahli fikih telah bersepakat atas keabsahan ijma’ adalah hujjah dari Allah. Tidak ada kelonggaran bagi orang-orang yang datang setelah mereka untuk menyelisihinya (sesuatu yang sudah menjadi ijma’), ini adalah madzhab hampir semua mutakallimin.” (Al-Fushul fil Ushul, Ahmad bin Ali ar-Razi al-Jashash, 3/257)
Salah satu ulama dari madzhab Hambali, Abdul Qadir bin Ahmad bin Mustafa bin Abdurrahman bin Muhammad Badran berkata :
“Ijma’ adalah hujjah yang qath’i dan wajib beramal dengannya menurut kebanyakan ulama, pernyataan ini menyelisihi Nazham-salah seorang tokoh Mu’tazilah.” (Al-Madkhal ila Madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal, Abdul Qadir bin Ahmad bin Mustafa bin Abdurrahman bin Muhammad Badran, 140)

MENYIKAPI IKHTILAF(perbedaan pendapat)
            Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan oleh para ulama Ahlussunnah wal Jamaah, maka hendaknya kaum muslimin saling menghormati perbedaan pendapat tersebut. Abu Umar Yusuf bin abdullah (368-463 H) seorang ahli fikih madzhab Maliki yang lebih dikenal dengan Ibnu Abdul Barr berkata :
            “Dari banyak ahli fikih salaf, sesungguhnya perbedaan pendapat dalam permasalahan furu’ (ranah ijtihad) terdapat kelonggaran didalamnya; Diriwayatkan dari al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, dia berkata; Sungguh Allah telah memberikan manfaat dalam perbedaan pedapat para sahabat Nabi dalam amalan-amalan mereka, tidaklah seorang yang berilmu beramal dengan ilmu mereka, kecuali ia berpendapat bahwa amalan tersebut masuk dalam kategori perkara yang ada kelonggaran dan berangga[an bahwa pendapat tersebut adalah yang terbaik dari pendapat lain yang telah diamalkannya.”(Jami’ Bayani al-Ilmi wa Fadhili, Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdil Barr,2/80)
Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Taimiyah (661-728 H) seorang ulama madzhab hanbali menulis : “Sesungguhnya perbedaan dalam masalah furu’ (ranah ijtihad) tidaklah mengapa, dan sungguh didalamnya terdapat kelonggaran bagi umat, selama perbedaan tersebut disandarkan kepada ahli ilmu dan ornag-orang memiliki kemampuan untuk berijtihad.”(Raf’ul Malam ‘Anil Aimmatil A’lam, Taqiyudin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Taimiyah). Wallahu A’lam 


oleh : qism_maktabah_ta'hil_2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH WALISONGO DI BUMI NUSANTARA

TAFSIR SURAT AN-NUR AYAT 4-5