TAFSIR SURAT AN-NUR AYAT 4-5
TUDUHAN BERZINA (QADF)
والذين يرمون المحصنات ثم لم يأتوا بأربعة شهداء فاجلدوهم ثمانين جلدة
ولا تقبلوا لهم شهادة أبدا وأولئك هم الفاسقون (4) إلا الذين تابوا من بعد ذلك
واصلحوا فإن الله غفور رحيم (5)
“Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. kecuali
orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[1]
Makna global Ayat di atas
adalah sebagai berikut : Allah ﷻ mengabarkan terhadap orang-orang yang merusak kehormatan orang-orang
mukmin, menuduh wanita-wanita baik-baik (‘afifat) dengan tuduhan keji,
menuduh mereka yang sejatinya terhindar dari keburukan dan selalu menjaga
kemuliaan dengan tuduhan zina. Lalu mereka (penuduh) tidak dapat menghadirkan
empat orang saksi yang adil, maka mereka berhak mendapatkan cambukan sebanyak
80 kali. Karena mereka adalah orang-orang fasik lagi pendusta. Bahkan kesaksian
mereka tidak diterima selamanya.
Akan tetapi, jika mereka
bertaubat dengan taubat yang sebener-benarnya. Maka kembalilah status mereka
seperti semula. Tidak termasuk orang-orang fasik dan diterima pula
kesaksiannya.
Sebab turunnya dua ayat An
nur itu adalah saat terjadinya haditsul ifki. Di saat Aisyah binti abu
bakr radiyallahu ‘anha yang mulia, suci lagi benar. Maka turunlah ayat
ini sebagai bentuk pembebasan dari tuduhan yang langsung turun dari langit.
Maka hal demikian sebagai pelajaran bagi seluruh umat, dan ‘ibroh bagi
generasi di seluruh masa dan zaman. Pendapat tersebut dituturkan oleh sebagian
ulama tafsir.
At thabari rahimahullah
berkata bahwasanya ayat ini diturunkan
bagi orang-orang yang menuduh Aiyah istri Rasulullah ﷺ, yang telah terjadi pada ifk.
Lalu diriwatkan pula dari Sa’id bin Jabir yang ditanya,” apakah zina lebih
buruk dari menuduh berzina?” maka ia menjawab,” zina.” Maka aku (Sa’id bin
Jabir) berkata,”Allah ﷻ berfirman : والذين يرمون المحصنات ayat ini turun pada haditsul ifki.
Akan
tetapi, yang rhajih adalah yang disebutkan oleh Qurthubiy dan telah
dipilih pula oleh Thabariy, yang menyatakan bahwa ayat ini turun pada
perbuatan-perbuatan qadf pada umumnya, bukan hanya dikhususkan pada
peristiwa ifk saja.
Hukum-hukum
syar’i yang ada pada ayat ini adalah :
Pertama, makna (الإحصان) dalam syariat
Islam mengandung empat makna, diantaranya :
a. Al iffah, yaitu wanita baik-baik dari mukminah maupun
wanita kitabiyyah
Allah ﷻ berfirman :
و المحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين
أوتوا الكتاب
“wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab..”[2]
b.
Merdeka
فإن أتين بفاحشة فعليهن نصف ما على المحصنات من
العذاب
“ mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas
mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami..”[3]
Maknanya adalah hukuman bagi budak adalah separuh dari hukuman orang-orang
yang merdeka.
c.
Telah menikah
Allah ﷻ berfirman :
حرمت عليكم أمهاتكم...
“maka diharamkan
bagi kalian untuk menikahi ibu-ibu kalian(istri bapak)..”
d.
Islam
Allah ﷻ berfirman :
من أشرك بالله فليس بمحصن
“barangsiapa
yang menyekutukan Allah maka ia bukanlah muhson”
Ke-dua, Syarat-syarat bagi pelaku qadf ditetapkan
sebagai bentuk batasan bagi orang yang berhak mendapatkan cambukan atas
perbuatannya itu. Akan tetapi, syarat-syarat tersebut hanya berlaku bagi pelaku
qadf, bukan yang dituduh. adapun syarat-syarat tersebut diantaranya
yaitu berakal, baligh, dan kemauan sendiri.
Ke-tiga, setelah membahas syarat-syarat pelaku qadf.
Maka tidak ayal jika tidak membahas syarat-syarat atau kriteria-kriteria
seseorang bisa masuk ke dalam kategori maqduf.
Allah ﷻ berfirman :
والذين يرمون المحصنات
Makna global dari ayat
tersebut yaitu mengandung makna bahwa yang termasuk wanita baik-baik (‘afifat)
yaitu tidak terkecuali baik muslimah maupun kafir, merdeka maupun budak. Hingga
para ulama menentukan 5 syarat bagi maqduf, yaitu Islam, berakal,
baligh, merdeka, dan ‘iffah dari zina. Syarat-syarat tersebut sebagai
bentuk batasan-batasan pula bagi maqduf agar bisa ditegakkan had.
Ke-empat, bentuk-bentuk lafadz bisa masuk dalam perbuatan qadf terbagi menjadi tiga, diantaranya adalah shorih,
kinayah, dan ta’ridh.
Shorih yaitu si
penuduh menuduh pelaku zina dengan tuduhan yang jelas, seperti kamu pezina,
atau kamu anak zina. Para ulama bersepakat bahwa hal demikian wajib dikenakan had.
Lalu kinayah yaitu bentuk tuduhan dengan sindiran, seperti,”wahai orang
fasik.” Adapun ta’ridh memiliki makna yang sama dengan kinayah
yaitu bentuk sindiran atau dengan panggilan sebaliknya, seperti,” kamu bukan
pelaku zina.”
Para ulama berbeda
pendapat tentang kinayah dan ta’ridh. Karena harus ada penjelasan
dari tuduhan tersebut, bermaksud qadf atau sebaliknya. Namun imam malik rahimahullah
tetap dikenakan had, sedangkan syafi’iyyah dan hanafiyyah berpendapat
sebaliknya.
Ke-lima, hukum bagi pelaku qadf secara berjamaah
para fuqoha’ berbeda pendapat dalam perkara ini. Pendapat pertama yaitu
menyatakan bahwa hanya dikenakan had sekali, ini menurut pendapat
jumhur. Lalu pendapat kedua yaitu menetapkan setiap dari tuduhan dikenakan pula
had sesuai jumlah tuduhan, pendapat ini menurut syafi’iyyah dan al
laits. Sedangkan pendapat yang ketiga yaitu menyatakan bahwa mereka membedakan
menjadi dua keadaan. Pertama, mereka menyatakan dengan kalimat satu, seperti,”
kamu pezina,” maka hanya dikenakan had satu. Adapun keadaan kedua dikenakan
had dari setiap melakukan lafadz qadf, maka dikenakan sesuai
jumlah tuduhan tersebut, pendapat ini menurut ibnu abi lailiy dan as sya’biy.
Dari tiga perbedaan
pendapat tersebut. Maka pendapat yang rajhih yakni pendapat jumhur, karena
berhujjah dengan al-Qur’an, as sunnah dan qiyas. Berdasarkan firman Allah ﷻ :
والذين يرمون المحصنات
Dari ayat tersebut
termaktub bahwa setiap yang melakukan qadf wajib dikenakan had,
hal demikian menunjukkan pula pelaku qadf secara jama’ah tidak dikenakan
had lebih dari 80 kali cambukan, maka jika barangsiapa yang menyatakan
bahwa pelaku qadf secara berjamaah hadnya lebih dari 80 kali
cambukan maka telah menyelisihi ayat.
Adapun dalil dari sunnah
yaitu berlandaskan dari hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasanya
Hilal bin Umayyah menuduh istrinya berzina dengan Syuraik bin Samha’. Maka
Rasulullah ﷺ bersabada,”
perjelaslah atau cambukan di punggungmu,” Rasulullah tidak memerintahkan untuk
memberikan hukuman had kepada Hilal kecuali hanya satu had.
Padahal Hilal telah menuduh istrinya dan Syuraik bin samha’ pula.
Dalil qiyas yang digunakan
adalah dengan menqiyaskan dengan pencuri yang melakukan pencurian berulang
kali, begitupula peminum khamr. Mereka tidak dikenakan had
kecuali hanya satu had. Karena sejatinya setiap hukuman had tidak
dikenakan lebih dari satu, walaupun perbuatan itu dilakukan berulang kali.
Ke-enam, apakah disyaratkan bagi para saksi untuk memiliki sifat adil?
Para ulama berbeda
pendapat pula dalam perkara ini. Syafi’iyyah menyatakan bahwa para saksi yang
dihadirkan wajib memiliki sifat adil, maka jika para saksi fasiq dikenakan bagi
setiap mereka had. Sedangkan ulama hanafiyyah berpendapat sebaliknya,
mereka menyatakan bahwa tidak dikenakan had bagi pelaku qadf yang
telah menghadirkan empat saksi, karena syari’at tidak menyebutkan kriteria adil
bagi para saksi.
Adapun pendapat yang rajhih
adalah pendapat pertama, seperti penuturan Ibnu Taimiyyah yang membenarkan
pendapat hanafiyyah yaitu menghindarkan had kepada para saksi, karena
adanya syubhat. Seperti disebutkan dalam hadits,”had tidak dikenakan
bagi yang masih syubhat.”
Ke-tujuh, perkara mendatangkan empat saksi secara
bersamaan para ulama berbeda pendapat pula dalam hal ini.
Dilihat dari makna ayat
secara dhohir maka tidak dibedakan antara mendatangkan para saksi secara
bersamaan atau tidak, pendapat ini menurut syafi’iyyah dan malikiyyah. Mereka
berhujjah bahwa ayat tersebut tidak menentukan syarat, kecuali hanya
mendatangkan empat orang saja. Cukup dengan mereka sepakat dengan kesaksian
mereka, baik itu secara bersamaan atau sendiri-sendiri.
Sedangkan Abu hanifah
berpendapat sebaliknya. Jika para saksi datang secara tidak bersamaan maka
wajib atas mereka had. Abu Hanifah berdalih bahwa setiap satu orang
saksi maka akan memberikan kesaksian berbeda-beda, maka ia termasuk dalam qadif
maka wajib dikenakan had.
Ke-delapan, hukuman had bagi orang yang merdeka dan budak
tidak sama. Para fuqoha’ bersepakat dalam perkara ini, berdasarkan dari al-Qur’an
dan as sunnah.
Allah ﷻ berfirman :
فإن أتين بفاحشة فعليهن نصف ما على المحصنات من العذاب
“maka atas mereka
separuh hukuman dari yang wanita-wanita yang merdeka.”
Sedangkan
dalam As sunnah :
عن عبد الله بن عمر رضي الله علهما أنه قال
:أدركت أبا بكر و عمر و عثمان و من بعدهم من الخلفاء الراشدين و كلهم يضربون
المملوك في القذف أربعين جلدة
“dari Abdullah bin Umar bahwasanya ia berkata : aku
mendapati Abu Bakr, Umar, Utsman dan siapa setelahnya dari khulafa’ arrasyidin,
setiap mereka mencabuk budak dalam qadf 40 kali cambukan.”
Ke-sembilan, apakah had termasuk hak Allah atau hak hamba?
Abu Hanifah menyatakan
bahwanya had adalah hak Allah, hal demikian dapat menimbulkan tiga
akibat, diantaranya adalah: Pertama, jika qadf tersebut telah
sampai ke hakim maka wajib ditegakkan had, walaupun tanpa permintaan maqduf.
Kedua, dengan memberikan maaf dari maqduf tidak membuat had tersebut
dihapuskan, adapun taubat qadif hanya diterima oleh Allah. lalu yang ke-tiga
yakni separuh hukuman bagi budak.
Sedangkan syafi’iyyah dan
malikiyyah berpendapat bahwa termasuk dalam hak hamba, sehingga dampaknya
adalah : pertama, hakim tidak dapat menegakkan had tanpa
permintaan maqduf. Ke-dua, had dapat terhapuskan dengan maaf yang
diberikan maqduf kepada qadif¸ dan yang ke-tiga, jika maqduf wafat
sebelum ditegakkannnya had, maka had tersebut diwariskan kepada
ahli waris. Sehingga jika ahli waris memaafkan maka terhapuslah had tersebut.
Adapun pendapat yang rajhih
yaitu pendapat yang dikemukakan oleh sebagian fuqoha’. Mereka menyatakan
bahwa had qadf termasuk dari dari hak Allah dan hamba. Tidak diragukan
lagi bahwa bahwa qadf dari hak Allah, dan hak hamba sebagai kompilasi
dari hak tersebut.
Ke-sepuluh, apakah taubat si penuduh(qadif) diterima?
Di dalam ayat hukuman bagi
penuduh ada tiga, yaitu : dicambuk 80 kali, tidak diterima persaksian untuk
selamanya, dan disifat dengan kefasikan yang keluar dari ketaatan.
Para fuqoha’ berbeda
pendapat akan hal ini. Hanafiyyah berpendapat bahwa pengecualian tersebut
dikembalikan ke kalimat yang terakhir (فأولئك هم الفاسقون), maka
diangkat dari pundak mereka sifat kefasikan, akan tetapi taubat mereka tetap
tidak diterima walaupun telah berubah menjadi orang sholih.
Sedangkan menurut jumhur
bahwa pengecualian tersebut dikembalikan pada dua kalimat yang terakhir (ولاتقبلوا لهم شهادة أبدا وأولئك هم الفاسقون),
maka jika bertaubat maka diterima taubatnya dan diangkat pula dari dirinya
sifat kefasikan.
Adapun
pendapat yang rajhih adalah pendapat jumhur dengan hujjah-hujjah yang
kuat, diantaranya adalah : pertama,sesungguhnya taubat dapat menghapus
dosa, maka wajib bagi penuduh untuk diterima persaksiannya setelah taubat. Kedua,
sesungguhnya orang-orang kafir lebih besar dosa dari qadf. Orang-orang
kafir tentu diterima persaksiannya jika bertaubat, begitupula dengan qadf. Adapun
yang ke-tiga yaitu pengecualian dalam ayat qadf dikembalikan
kepada keseluruhan. Akan tetapi, hukuman cambukan 80 kali adalah termasuk hak
hamba yang tidak terhapuskan dengan taubat.
Wallahu a’lam
referensi utama
1. Ali asshobuni,
Komentar
Posting Komentar